“Siapa pun mengenal dirinya akan lebih sibuk membenahi dirinya sendiri daripada mencari kesalahan orang lain”
— Ibn Qayyim Al-Jawziyya —
Hari ini saya kembali belajar tentang diri saya sendiri, ada sebuah dinding yang tinggi, tembok yang besar, dan topeng yang tebal yang melindungi saya dari dunia luar. Semua itu adalah kemurahan hati sang Pencipta. Dimana setiap aib yang semua manusia pasti membencinya, ditutup rapat-rapat oleh rimbunnya bunga-bunga yang cantik.
Kadang, hal yang paling takut saya temui adalah diri saya sendiri. Banyak hal dalam diri saya yang ingin saya hindari, saya jauhi. Berusaha menjauh dan berlari, menyembunyikan diri. Sama sekali tidak mungkin karena itu ada di dalam diri saya sendiri, kemana pun saya pergi, itu adalah saya sendiri.
Pada akhirnya saya harus tunduk pada sebuah kenyataan. Fakta bahwa itu adalah diri saya, harus saya terima, dan maafkan. Meski proses memaafkan diri sendiri itu pada kenyataannya jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain. Karena orang lain bisa saja pergi dan menjauh, sementara kesalahan diri sendiri tetap ada di dalam diri saya, setiap hari saya temui.
Saya sempat menggugat, mengapa saya harus memiliki cerita hidup yang seperti demikian? Mengapa saya yang harus mengalami? Apa maksudnya? Tidak bisakah saya kembali ke masa itu mengubah semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui saya di setiap kali sujud. Apakah saya pantas meminta surga. Sebuah hal yang paling saya khawatirkan, apakah Tuhan memaafkan kesalahan itu. Bagaimana caranya saya tahu bila Dia sudah memaafkan?
Orang lain bisa memandang diri ini setinggi langit meski sejatinya diri ini lebih pantas berada di dasar laut dalam. Pada akhirnya, ada satu titik dimana manusia seperti saya harus belajar dan berani mengenalkan diri untuk mengenalkan diri secara utuh. Mungkin tidak kepada semua orang, hanya kepada orang-orang tertentu. Dan itu tetaplah sebuah hal berat.
Mengenalkan diri secara utuh. Mengenalkan diri secara paripurna, hingga tak satupun tertinggal untuk diberitakan. Perihal orang tersebut kemudian pergi, itu adalah sebuah konsekuensi. Beruntunglah bila orang tersebut bisa menerima kita. Sebuah hal yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh manusia seperti saya bahwa akan ada orang yang menerima saya sedemikian rupa.
Hidup ini sejatinya hanya perlu Allah, apapun yang didekatkan kepada kita adalah sarana kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Termasuk pasangan kita, orang tua kita, teman-teman kita, harta kita, dan apapun yang memenuhi hidup kita.
Hari ini saya kembali belajar tentang diri saya sendiri, ada sebuah dinding yang tinggi, tembok yang besar, dan topeng yang tebal yang melindungi saya dari dunia luar. Semua itu adalah kemurahan hati sang Pencipta. Dimana setiap aib yang semua manusia pasti membencinya, ditutup rapat-rapat oleh rimbunnya bunga-bunga yang cantik.
Kadang, hal yang paling takut saya temui adalah diri saya sendiri. Banyak hal dalam diri saya yang ingin saya hindari, saya jauhi. Berusaha menjauh dan berlari, menyembunyikan diri. Sama sekali tidak mungkin karena itu ada di dalam diri saya sendiri, kemana pun saya pergi, itu adalah saya sendiri.
Pada akhirnya saya harus tunduk pada sebuah kenyataan. Fakta bahwa itu adalah diri saya, harus saya terima, dan maafkan. Meski proses memaafkan diri sendiri itu pada kenyataannya jauh lebih sulit daripada memaafkan orang lain. Karena orang lain bisa saja pergi dan menjauh, sementara kesalahan diri sendiri tetap ada di dalam diri saya, setiap hari saya temui.
Saya sempat menggugat, mengapa saya harus memiliki cerita hidup yang seperti demikian? Mengapa saya yang harus mengalami? Apa maksudnya? Tidak bisakah saya kembali ke masa itu mengubah semuanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui saya di setiap kali sujud. Apakah saya pantas meminta surga. Sebuah hal yang paling saya khawatirkan, apakah Tuhan memaafkan kesalahan itu. Bagaimana caranya saya tahu bila Dia sudah memaafkan?
Orang lain bisa memandang diri ini setinggi langit meski sejatinya diri ini lebih pantas berada di dasar laut dalam. Pada akhirnya, ada satu titik dimana manusia seperti saya harus belajar dan berani mengenalkan diri untuk mengenalkan diri secara utuh. Mungkin tidak kepada semua orang, hanya kepada orang-orang tertentu. Dan itu tetaplah sebuah hal berat.
Mengenalkan diri secara utuh. Mengenalkan diri secara paripurna, hingga tak satupun tertinggal untuk diberitakan. Perihal orang tersebut kemudian pergi, itu adalah sebuah konsekuensi. Beruntunglah bila orang tersebut bisa menerima kita. Sebuah hal yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh manusia seperti saya bahwa akan ada orang yang menerima saya sedemikian rupa.
Hidup ini sejatinya hanya perlu Allah, apapun yang didekatkan kepada kita adalah sarana kita untuk mendekatkan diri kepada Allah. Termasuk pasangan kita, orang tua kita, teman-teman kita, harta kita, dan apapun yang memenuhi hidup kita.
No comments:
Post a Comment