Aku
tak perlu bilang, bukan? Kalau urusan perasaan, perempuan itu lebih
mudah ber-isyarat daripada berkata- kata. Harusnya kamu tahu itu.
Perempuan dilindungi Tuhan dengan rasa malu, apalagi untuk hal yang
berhubungan dengan perasaan. Jadi, jangan pernah menunggu perempuan
untuk mengungkapkan apa yang sedang dirasakannya, kamu harus mengerti
isyaratnya. Mungkin, itulah salah satu alasan kenapa perempuan lebih suka laki-laki yang pengertian; agar hidupnya jauh lebih dimudahkan.
Berharap perempuan lebih dulu mengungkapkan perasaannya terhadap laki-laki, itu semisal kamu berharap orang yang paling kamu benci tertimpa durian jatuh tepat di kepalanya, dan kamu jadi berbahagia karenanya. Masalahnya, belum tentu orang yang sangat kamu benci itu punya kebun durian,kalaupun dia punya, belum tentu dia mau menungguinya. Kalaupun dia punya dan mau menunggu duriannya jatuh, sangat sulit mencari momentum durian itu jatuh tepat di atas kepalanya. Kamu hampir tidak pernah mendengar berita tv yang mengabarkan seseorang tertimpa durian jatuh tepat di kepalanya, bukan? Dibutuhkan presisi tingkat tinggi untuk menemukan momentum durian jatuh tepat di atas kepala pemiliknya, dan kalau kamu ingin sekali momentum itu ada, diperlukan bantuan Tuhan untuk menciptakan momentum seperti itu ada. Kamu bisa saja berdoa dengan sungguh- sungguh kepada-Nya, tapi akan timbul masalah baru; doa kita untuk orang lain, akan kembali pada diri kita sendiri. Malaikat langsung yang mengaminkannya. Jadi pada akhirnya, bisa jadi Tuhan memberikan rezeki kepada kamu untuk mempunyai kebun durian, dan di suatu ketika, kepala kamu yang tertimpa durian jatuh kepunyaan kamu sendiri. Begitulah kira-kira kerumitannya, tentang betapa sulitnya perempuan mengungkapkan apa yang dirasakannya terlebih dahulu pada laki-laki.
Kondisinya jadi lebih sulit manakala perasaan yang ingin diungkapkan itu, berupa perasaan tidak enak, tidak suka, tidak setuju atau sejenisnya kepada orang terdekatnya. Seperti yang sekarang aku rasakan; terhadap kamu. Kamu pernah bilang, kalau kita sudah nyaman terhadap seseorang, kita bisa lebih mudah berbagi rasa, lebih terbuka untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya kita. Padahal bagiku, justru rasa nyaman itu sendiri yang jadi masalahnya. Aku sudah nyaman dengan kamu. Kita sudah sepakat untuk menjadi rumah bagi masing-masing; tempat dimana kita selalu ingin pulang dan berlabuh. Rasa nyaman itu pastilah terganggu dengan perasaan yang sedang aku rasakan sekarang kepada kamu. Dan aku enggan untuk mengungkapkannya. Siapapun tak ingin kehilangan rumah, bukan? Tapi aku sudah tak kuasa untuk menyembunyikannya. Jadi tolong, cobalah untuk mengerti isyarat-ku. Aku ingin dimengerti tanpa harus berkata-kata.
“Kamu lagi kenapa sih, ngomong dong?” tanyamu menanggapi isyarat diamku, dan aku jadi tambah kesal karena pertanyaanmu itu.
“Gapapa” Jawabku sekenanya
“Kalo gapapa, kok kayaknya ada yang beda ya?”
“Itu kamu tahu, kenapa pake tanya segala?” jawabku kesal
dalam hati, yang diterjemahkan dengan kata-kata menjadi:
“Lagi pengen diem aja”
“Ya udah kalau begitu, selamat berdiam diri.” Astaga, ngeselin banget, boleh di lempar sendal nggak sih?!
Berharap perempuan lebih dulu mengungkapkan perasaannya terhadap laki-laki, itu semisal kamu berharap orang yang paling kamu benci tertimpa durian jatuh tepat di kepalanya, dan kamu jadi berbahagia karenanya. Masalahnya, belum tentu orang yang sangat kamu benci itu punya kebun durian,kalaupun dia punya, belum tentu dia mau menungguinya. Kalaupun dia punya dan mau menunggu duriannya jatuh, sangat sulit mencari momentum durian itu jatuh tepat di atas kepalanya. Kamu hampir tidak pernah mendengar berita tv yang mengabarkan seseorang tertimpa durian jatuh tepat di kepalanya, bukan? Dibutuhkan presisi tingkat tinggi untuk menemukan momentum durian jatuh tepat di atas kepala pemiliknya, dan kalau kamu ingin sekali momentum itu ada, diperlukan bantuan Tuhan untuk menciptakan momentum seperti itu ada. Kamu bisa saja berdoa dengan sungguh- sungguh kepada-Nya, tapi akan timbul masalah baru; doa kita untuk orang lain, akan kembali pada diri kita sendiri. Malaikat langsung yang mengaminkannya. Jadi pada akhirnya, bisa jadi Tuhan memberikan rezeki kepada kamu untuk mempunyai kebun durian, dan di suatu ketika, kepala kamu yang tertimpa durian jatuh kepunyaan kamu sendiri. Begitulah kira-kira kerumitannya, tentang betapa sulitnya perempuan mengungkapkan apa yang dirasakannya terlebih dahulu pada laki-laki.
Kondisinya jadi lebih sulit manakala perasaan yang ingin diungkapkan itu, berupa perasaan tidak enak, tidak suka, tidak setuju atau sejenisnya kepada orang terdekatnya. Seperti yang sekarang aku rasakan; terhadap kamu. Kamu pernah bilang, kalau kita sudah nyaman terhadap seseorang, kita bisa lebih mudah berbagi rasa, lebih terbuka untuk mengungkapkan apa yang ada di hatinya kita. Padahal bagiku, justru rasa nyaman itu sendiri yang jadi masalahnya. Aku sudah nyaman dengan kamu. Kita sudah sepakat untuk menjadi rumah bagi masing-masing; tempat dimana kita selalu ingin pulang dan berlabuh. Rasa nyaman itu pastilah terganggu dengan perasaan yang sedang aku rasakan sekarang kepada kamu. Dan aku enggan untuk mengungkapkannya. Siapapun tak ingin kehilangan rumah, bukan? Tapi aku sudah tak kuasa untuk menyembunyikannya. Jadi tolong, cobalah untuk mengerti isyarat-ku. Aku ingin dimengerti tanpa harus berkata-kata.
“Kamu lagi kenapa sih, ngomong dong?” tanyamu menanggapi isyarat diamku, dan aku jadi tambah kesal karena pertanyaanmu itu.
“Gapapa” Jawabku sekenanya
“Kalo gapapa, kok kayaknya ada yang beda ya?”
“Itu kamu tahu, kenapa pake tanya segala?” jawabku kesal
dalam hati, yang diterjemahkan dengan kata-kata menjadi:
“Lagi pengen diem aja”
“Ya udah kalau begitu, selamat berdiam diri.” Astaga, ngeselin banget, boleh di lempar sendal nggak sih?!