Sunday, May 18, 2014

MENCARI SAHABAT

Dalam perjalanan hidupnya, tidak semua orang bertemu dengan teman dekatnya. Yang karena dekatnya, lalu disebut sebagai sahabat. Bertanya-tanya mengapa orang lain memiliki sahabat, sementara dia sendiri tidak. Lalu ia mencari tau sendiri pertanyaannya, apa benar sahabat itu benar-benar ada atau tidak?

Bila ada, mengapa ia tak memilikinya? Ia merasa tidak dekat dengan siapapun. Bila pun orang lain merasa dekat, ia merasa biasa-biasa saja. Ia tidak tau kepada siapa bisa bercerita. Tidak tau dengan siapa hendak pergi bersama. Merasa begitu tenang sendirian. Karena terbiasa sendiri. Merasa tidak suka diusik meskipun ingin sekali bercengkrama. Tapi kepada siapa?

Ia tidak pernah merasa sangat dekat dengan siapapun. Setiap kali kakinya melangkah, matanya menangkap persahabatan orang lain. Mendengar dari kata-kata teman dan ia tidak pernah memilikinya. Ia hidup sendiri, merasa sendiri, dan begitu mencintai kesendiriannya. Meski pada saat yang sama ia bertanya-tanya, siapakah yang sanggup menembus hatinya, ia sendiri tidak tau.

Apakah dia yang memiliki tembok yang tinggi, atau ia orang lain yang membatasi dirinya? Ia merenungkan arti persahabatan dari orang-orang. Ia tidak tau, orang datang silih berganti di dalam hidupnya. Tidak pernah ada yang tinggal benar-benar lama sebagai teman baik. Ia menanyakan pada dirinya, apa yang sebenarnya ia butuhkan?

Sebab, apa ia memiliki batas begitu tinggi? Sampai kapan ia akan menutup diri? Sampai kapan ia akan memberikan kepercayaan kepada orang? Mungkin cukup kepada satu orang, teman hidup, sahabat yang mungkin hanya akan ada satu saja sepanjang hidupnya.

Saturday, May 17, 2014

KEPERGIANKU

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Cepat atau lambat pepatah ini akan terjadi pada siapapun, termasuk aku. Iya, tentu saja ada airmata, tentu saja ada semilir duka. Tapi aku percaya semua ini akan terlewati dan kembali baik-baik saja.

Aku juga manusia biasa, punya rasa rindu yang menggebu. Aku rindu menjadi diriku sendiri, aku yang utuh, aku yang ku kenali, aku yang ku inginkan. Memang semua tak lagi sama, tapi percayalah, ini yang terbaik.

Jangan ada benci apalagi caci, kita telah dewasa. Bukankah dewasa berarti siap melupakan juga merelakan. Kita masih bisa bertemu dalam nyata atau dalam doa. Kita masih bisa saling membahagiakan. Dalam peluk, dalam tawa, manis.

Ini bukan kepergian, kita hanya sama-sama ingin meraih tujuan. Tolong, tolong jangan anggap ini perpisahan. Hanya raga kita yang terpisah, tapi hati ini masih saling bertautan. Tubuhku memang tak lagi bersama kalian. 

Tapi, izinkan aku menyelamatkan hati. Agar perbedaan ini tak jadi bumerang untuk saling menyakiti. Aku pergi karena aku ingin menjadi yang aku ingini.

Bila Tidak Ada Pertemuan

Menarik sekali memikirkan rencana Tuhan tentang kita. Pernahkah satu waktu dalam hidupmu kamu bertanya-tanya, Mengapa kita harus bertemu? Mengapa aku harus membaca tulisan-tulisanmu? Mengapa kita tidak sengaja berpapasan? Hingga entah siapa yang pertama kali menyapa.

Bila pertemuan kita mengandung rahasia, maka rahasia seperti apakah kiranya yang Dia sembunyikan? Karena darimu aku belajar tentang Tuhan. Darimu pula aku belajar tentang kehidupan. Kau mematahkan keraguan-keraguanku tentang keadilan-Nya.

Kau memaksaku dengan buku-buku. Aku membencinya tapi aku tidak pernah bisa menolakmu. Karena aku selalu ingin mematahkan pendapatmu. Tapi, setiap kali bertemu aku hanya diam saja mendengarkanmu. Lalu, aku mengiyakannya. Kau membuatmu mengenal agama. Sesuatu yang asing sebelumnya.

Menarik sekali kiranya bila aku tahu. Apakah gerangan yang hendak Tuhan sampaikan? Apabila dia mengirimmu hanya untuk membuatku jatuh cinta, aku rasa aku tidak memerlukan semua ini. Bila Tuhan hanya mengirimu untuk duniaku, aku tidak membutuhkannya.

Aku hanya bertanya-tanya, kiranya apa yang akan terjadi bila hingga hari ini kita tidak pernah bertemu? Bila aku tidak pernah membaca tulisan-tulisanmu. Bila kita tidak pernah berpapasan dan tidak pernah ada sapa. Dan kita tidak pernah saling mengenal. Apakah kiranya Tuhan akan tetap mempertemukan kita?

Friday, May 9, 2014

TITIK TEMU

Di dunia ini, ada saja orang yang jatuh cinta karena tulisan. Ada juga yang jatuh cinta karena kebaikan tutur kata, bahkan karena suara. Jatuh hanya dengan alasan yang sederhana. Tidak membutuhkan kejadian yang dramatis. Semua mengalir begitu sederhana.

Dulu, aku sering bertanya,”Mengapa orang bisa bersatu tanpa bertemu terlebih dahulu?”. Tidak saling kenal. Dulu, di masa kakek nenek kita mungkin. Sekedar tahu alamat rumahnya saja menjadi bahagia. Setidaknya, menjadi tahu kemana surat cinta harus dikirim.

Kini aku tahu bahwa perasaan itu bisa tumbuh tanpa pertemuan. Hanya saling tahu dari jarak yang jauh. Hanya saling berkirim kabar. Hanya saling mencari tahu satu sama lain. Aku menjadi tahu bahwa pertemuan tidak selalu menjadi awal mula segalanya, tapi rasa ingin tahu.

Siapakah orang itu?
Siapakah gerangan dia?
Siapa namanya?
Mengapa dia begitu menarik?
Mengapa dia begitu baik?
Darimana datangnya?
Dan sejumlah pertanyaan yang menjadi titik awal juga titik temu.

KELUARGA SAMUDERA

Kita tahu rasanya menjadi anak. Semua orang pernah menjadi anak. Tapi, tidak semua orang bisa menjadi orang tua. Tahu rasanya hidup di tengah samudera sementara orang lain bersesak-sesak di daratan? Meski hidup ditengah badai dan gelombang. Tahu rasanya hidup dalam satu bahtera dimana di dalamnya kita harus saling mendukung? Mengisi peran satu sama lain dengan baik. Ada yang menjadi nahkoda, ada yang menjadi koki.

Aku bersyukur hidup di keluarga samudera. Saat daratan membuat orang-orang dekat kita pergi dari rumah. Samudera justru menahan mereka semua untuk berada dalam satu kapal. Dekat tidak hanya fisik tapi juga hati. Aku bersyukur hidup di keluarga samudera. Berada dalam satu kendaraan yang sama, satu keluarga. Menuju satu tujuan, berlabuh sebentar, kemudian berjalan lagi bersama-sama. Tidak saling meninggalkan satu sama lain.

MENCARI TAHU

Tahukah kita? Seandainya setiap orang paham bahwa mencintai bukan hanya soal waktu, soal keberanian, atau soal kesempatan. Namun, soal keimanan dan ketaqwaan. Bila setiap orang sadar bahwa tidak semua perasaan itu harus dituruti. Tidak harus dikatakan. Tidak harus ditindak lanjuti. Kan sudah aku bilang, urusan ini bukan sekedar urusan waktu dan keberanian, tapi urusan keimanan dan ketaqwaan.

Tahukah kita? Terlalu banyak orang kehilangan sabar. Tidak mampu memahami keadaan. Terlalu terburu-buru mengungkapkan sesuatu. Tidak berpikir dua kali untuk bertanya-tanya, “apakah kiranya Tuhan ridho dengan tindakannya?”

Tahukah kita? Pada akhirnya orang yang bisa membersamai kita bukanlah dia yang lebih cepat atau lebih lambat. Tetapi dia yang bisa mengiringi langkah kita. Langkah yang sama jauhnya, sama pendeknya.

Tahukah kita? Memandang seseorang saat ini tidak lagi bisa dilihat dari sekedar pakaian dan isi otaknya. Sudah menjadi bias mana yang asli mana yang palsu. Seandainya setiap orang tahu, bahwa mata tidak lagi bisa mengenali dengan jujur. Tapi tidak setiap orang paham bahwa dia memiliki mata hati. Hati mengenali hati. Mata hanya mengenali fisik.

Tahukah kita? Diri kita dan apapun yang kita miliki adalah hal yang paling baik untuk kita. Bukan untuk orang lain. Apa yang dimiliki orang lain, itu yang terbaik untuk mereka. Bukan untuk kita. Seandainya kita paham konsep kecil ini, kita tidak perlu iri hati. Sayangnya, diantara kita saling membandingkan. Lalu menyakiti diri sendiri.

Tahukah kita? Waktu kita tidak banyak. Sayangnya, diantara kita banyak lupa waktu. Aku pun begitu.

TUNGGU

Bagaimana jika tidak ada lagi orang yang mau menunggumu? Ia yang kamu percaya akan menunggumu, ternyata pergi meninggalkanmu. Selama ini hanya perasaanmu saja, merasa bahwa orang lain akan mau menunggu ketidakpastian datangmu.

Bagaimana jika tidak ada lagi orang yang mau menunggumu? Yakinkah bahwa kamu benar-benar orang yang ditunggu? Sempatkan berpikir sudah berapa lama kamu membiarkan waktunya habis untukmu. Lalu, masih berpikirkah kamu untuk menyalahkannya sebab dia telah meninggalkanmu lebih dulu.
 

Bagaimana jika tidak ada lagi orang yang mau menunggumu? Karena kamu tidak pernah tepat waktu. Sampai kapan kamu berharap orang lain akan selalu bisa memahami keterlambatanmu? Sampai kapan kamu berpikir bahwa orang lain selalu bisa menerima ketidaktepatanmu?

Mungkin sampai kamu benar-benar merasa tidak satu orang pun lagi yang mau menunggumu. Mungkin saat itu baru kamu sadar, bahwa kamu telah membuang orang-orang yang tadinya begitu sabar terhadapmu. Dan kini, mereka meninggalkanmu, katamu.

Sadarkah, bahwa kamu yang meninggalkan mereka. Karena kamu tidak pernah menghargai waktu yang mereka miliki. Karena kamu telah menyia-nyiakan kepercayaan yang telah ia berikan. Karena kamu telah menahan mereka untuk maju. Hanya demi menunggumu, yang tidak pernah mereka bisa pastikan kapan datangnya.

Bagaimana perasaanmu, saat kamu tahu tidak ada satu orang pun yang mau menunggumu (lagi)?