Wednesday, December 31, 2014

Sebuah Catatan di Akhir Tahun

Terimakasih 2014. Terimakasih untuk semua pembelajaran hidup, begitu banyak pelajaran yg bisa dipetik, kerikil tajam di perjalanan, mulai dari jalan datar hingga tanjakan, untuk semua moment yg menguras emosi dan energi, untuk mereka yang tetap disisi maupun yg datang dan pergi, untuk kenangan yang selalu membayangi, untuk semua ekspektasi yang tercipta, semakin banyak yg terwujud semakin banyak pulalah yg ingin diwujudkan.

Terimakasih 2014. Engkau telah memberi kepastian dari semua pertanyaan akan perasaannya terhadapku. Meskipun jauh dari yang kuinginkan, tapi setidaknya itu sedikit melegakan. Sekarang semua sudah jelas. Siapa aku dimatanya, siapa aku dihatinya, siapa yang dia cintai sepenuh hati dan siapa yang ingin dia dampingi sampai mati.

Terimakasih untuk Allah SWT yang selama ini selalu kirimkan orang-orang hebat di sekitarku untuk menjadikanku kuat melewati hari-hari yang melelahkan. Disaat-saat terpurukku, ternyata banyak hal-hal kecil yang berarti (buatku - dan mungkin tidak buat orang lain) yang membuatku semangat untuk menyambung hidupku satu hari lagi.

Terimakasih kepada semua orang yg ikut mengukir cerita di tahun ini. Semua orang yg menorehkan banyak kenangan. Semua orang yg membuatku terus belajar menjadi lebih baik. Semua orang yg telah dan semoga akan terus menjadi partner terbaik. Semua orang yg tidak bisa aku sebutkan satu persatu disini.

Dan terimakasih yang tak terhingga untuk kasih sayang orang tua, keluarga, dan sahabat teman semua. 16 tahun sudah perjalanan hidup tahun ini. Goodbye my amazing 2014, welcome my super amazing 2015.

Bismillah.. semoga lebih baik :)

Friday, December 26, 2014

Letter of December; Terjaga

Hai, laki-laki pemilik senyum paling indah yang pernah kukenal.
                                                                                  
Aku sedang merindukanmu saat ini, tepat pada detik ini. Aku terbangun dari tidurku karena hawa panas yang menyergap dengan kuat, membuatku bermandikan keringat di sekujur tubuh. Aku pun mendengarkan lagu-lagu cinta, dan sosokmu tiba-tiba saja terlintas di benakku. Rindu itu muncul begitu saja, memaksaku menulis surat cinta ini tepat tengah malam.

Apa kabar kamu? Selama seminggu terakhir, aku banyak bersyukur karena bisa berpapasan denganmu setiap hari. Selama seminggu itu, aku terus bersyukur karena bisa melihatmu dalam keadaan sehat dan baik. Selama seminggu itu, aku terlalu banyak memikirkanmu.

Sekarang sudah memasuki masa-masa liburan. Dan itu artinya aku tak akan berjumpa denganmu selama dua minggu ke depan, kecuali jika aku cukup beruntung bisa bertemu denganmu di suatu tempat. 

Aku pasti akan merindukanmu. Sangat merindukanmu.

Rindu selalu mengakar pada cinta, begitu pun sebaliknya. Aku mencintaimu, oleh karena itu rinduku tak pernah berhenti mengalir dalam dirimu bagai pembuluh darah. Aku ingin mencintaimu dengan baik. Aku ingin menjagamu dengan baik, karena sejatinya arti cinta itu adalah menjaga. Tapi, jenis penjagaan apa yang bisa kulakukan bila dirimu pun tak tahu ada seseorang yang ingin menjagamu?

Aku ingin bisa memelukmu tatkala Desember yang dingin ini membuatmu beku. Aku ingin membelai rambutmu tatkala kau merasa gelisah. Aku ingin menggenggam tanganmu setiap saat, memastikan dirimu jangan sampai terjamah oleh rapuh, kalaupun sudah, aku ingin mengatakan padamu, "Everything is gonna be allright, Dear". Dan bila ada bagian hatimu yang rusak, aku ingin orang yang bisa memperbaikinya adalah diriku.

Tapi, di antara semua penjagaan itu, yang mana yang bisa kulakukan bila kau tidak menerimaku sebagai penjagamu?

Aku tak pernah mengabsenkan namamu dalam doaku. Akan selalu kusisipkan namamu dalam bisikanku di atas sajadah, kumohonkan pada Tuhan agar dirimu selalu terjaga. 

Jadi, apabila kau diliputi rasa cemas, gelisah, ataupun ketakutan, kau tak perlu khawatir, karena ada seorang penjaga yang tak pernah berhenti menjagamu dalam doanya. Dalam cintanya.

Karena sejatinya arti cinta itu adalah menjaga, meskipun hanya lewat doa.



 Kamar paling nyaman, 13 Desember 2014

Bye-Bye Kamu

Selamat tinggal kamu, jika ini perpisahan harusnya kita saling berpelukan, kan? Bisakah kita menghabiskan waktu berdua seharian? Ah lupakan.

Selamat tinggal kamu, jika yang aku ingin adalah tawamu, bahagiamu, dan sekarang kamu dapatkan semua itu. Apa lagi inginku? Memaksamu bersamaku? Aku takkan lakukan itu.

Selamat tinggal kamu, jika nanti kamu datang kesini sewaktu-waktu maka kabari aku, pastikan kita bertemu, berbincang sebagai dua teman yang pernah memimpikan satu.

 
Selamat tinggal kamu, jika suatu saat kamu rindukan aku maka percayalah, saat itu aku juga merindukanmu. Aku akan masih tetap merindukanmu.

Selamat tinggal kamu, terlalu banyak “jika” yang ingin aku sampaikan, aku harus berhenti, kan? Sebelum airmata mengambil alih senyuman.

Baikbaik kamu. Kita jangan saling melupakan :’)

Sunday, December 7, 2014

Untuk Kamu Yang Entah Siapa dan Dimana

Tuan, mengerti kenapa kita belum dipertemukan sampai sekarang? Mungkin karena ketidaksiapan. Mungkin karena terlalu banyak yang harus lebih dulu menjadi pelajaran.

Aku belum siap, untuk tidak mengkhawatirkanmu ketika kamu tidak ada kabar. Padahal kamu tak pernah mau untuk dikhawatirkan, terlebih jika diminta untuk segera menghubungi. Kamu tak ingin dikhawatirkan berlebihan.

Aku belum siap untuk tidak menyuruhmu makan berulang-ulang, padahal kamu belum makan seharian. Itu menurutmu berlebihan. Katamu, kamu akan baik-baik saja, yang sudah bisa menjaga kesehatan.

Aku belum siap, untuk tidak menjadi cemburu ketika ada seorang wanita yang merebut perhatianmu. Kamu bisa menjaga percayaku, katamu.

Aku belum siap untuk sanggup selalu ada di sisimu saat kau butuhkan. Aku khawatir tak bisa memberikan perhatian sebesar yang kamu inginkan.

Aku belum siap jika suatu saat harus kehilangan. Aku hanya belum siap. Itu saja. Belum siap untuk menjadi pamrih, jika ternyata cinta yang kau miliki tidak sama besar dengan yang kuberi.

Aku belum siap. Untuk menjadi orang yang paling menjengkelkan bagimu karena menanyakan kabarmu setiap waktu. Aku belum siap, untuk menjadi orang yang mengkhawatirkanmu nomor satu.

Bukan tak ingin menemukan, aku hanya merasa belum pantas untuk dipertemukan. Bagaimana jika kita mempersiapkan diri dulu dan saling menunggu? Aku yakin, suatu saat aku tak akan menjadi orang yang mengecewakan jika nanti kau sudah menemukanku. 

Aku akan siap dengan semua kemungkinan saat kita memutuskan bersama. Aku akan siap dengan segala perubahanmu oleh waktu. Perubahan cintamu yang juga oleh waktu, aku akan siap.

Aku akan siap, menemukanmu, dan tak pernah membiarkanmu berlalu.

Saturday, December 6, 2014

Kusebut Dirimu (sebagai) Hujan

Selamat malam, hujan. Rindumu pada bumi seperti tak ada habisnya ya.Tak peduli seberapa banyak orang yang senantiasa berjingkat menghindarimu. Bagimu, kau hanya harus jatuh ke bumi. Itu saja. Tak perlu ada tapi. Atau…

Cemburumu pada matahari kah yang membuatmu enggan berhenti melintasi celah awan? Karena begitu banyak orang yang mengharapkannya akhir akhir ini? Aih, aku sampai lupa, justru karena matahari sehingganya dirimu mampu menderas setelah awan tak lagi bisa menampungmu.


Jadi mana mungkin kan dirimu cemburu buta padanya? Emm kalau begitu, bolehkah esok pagi kau izinkan sinarnya menimpa butir butirmu yang menyisa di kuncup daun di depan jendela?


Bukan aku tak suka lagi padamu. Aku hanya ingin kau memberiku kesempatan untuk merindukanmu. Agar tak putus sukacitaku menyambutmu.   Setelahnya, kita masih bisa bertabrakan sepanjang jalan -seperti sore tadi, bukan? 


Aih, ternyata aku lupa lagi. Bahwa yang kau rindukan adalah bumi. Bahwa yang merindukanmu bukanlah hanya aku.  Duh, sepertinya malah aku yang cemburu.

Sebaiknya, aku akhiri saja percakapan kita. Berhenti atau tidak dirimu malam ini. Aku akan tetap menyukaimu. Seperti halnya, muncul atau tidak matahari esok pagi, aku tetap tak bisa membencimu.

Bagaimana Bila Kita Bertukar Peran ?

Apa kabar kamu malam ini?

Ah, harusnya aku tak menyapamu. Harusnya aku mengacuhkanmu saja. Harusnya kau kuabaikan dengan benar-benar tak kupedulikan saja. Ya, harusnya aku begitu. Sampai akhirnya… Sampai akhirnya ini mendadak rumit. Aku tak pernah bisa membiarkan namamu lewat begitu saja pada pemberitahuan facebookku.

Malam ini, bagaimana bila kau saja yang menyapaku lebih dulu? Kata orang, perempuan tak seharusnya memulai lebih dulu. Apa harus mengikuti apa kata orang? Deguban jantung sendiri menghentak-hentak ingin saling bertukar kabar? Jadi, bagaimana? Bisakah kau menyapaku lebih dulu?

Sebenarnya, seperti apa yang pernah kau nyatakan padaku. Aku berubah. Benar sekali, firasatmu memang tak pernah meleset. Akhir-akhir ini, aku berpikir untuk sedikit memberi jeda pada kita. Bukan dengan menghindarimu, karena bahkan ketika aku begitu ingin untuk tidak mengacuhkanmu sekali-kali, aku malah tak bisa. Seperti kataku tadi, degubku selalu menghentak ingin bertukar kabar, juga bertukar percakapan denganmu karena merindu.


Cukup lelah rasanya berjalan di tempat seperti ini bersamamu. Bagaimana jika kita berhenti saja? Bagaimana jika kita cukupkan saja semua sampai di sini? Atau bila kau tak ingin, bagaimana bila kita bertukar peran saja? 

Aku akan menjadi kamu, sedang kamu akan menjadi aku. Mudah, bukan? Ah, sepertinya tidak. Bagiku akan mudah saja berada di tempatmu. Menjadi orang yang lebih dingin dari musim hujan dengan deras hujannya yang membuat gigil, kurasa mudah saja bagiku. Tapi bagaimana jika kau menjadi aku? Bagaimana kau bisa menjalani peran sebagai seseorang yang sapa hangatnya selalu dibalas dengan beku yang kaku?

Sesekali kita memang perlu bertukar peran, agar kau tahu betapa sulitnya menjadi aku. Agar kau tahu bagaimana aku menghitung detak pada detik menunggumu memulai percakapan lebih dulu. Agar kau tahu bagaimana menyiksanya rindu. Lalu, aku akan belajar dalam peranku sebagai kamu untuk memasabodohkan rindu agar bisa melewati hari tanpa menjadi hampir gila. Aku harus belajar bagaimana caranya melarikan diri dari rindu agar tak kembali menjatuhkan harga diri di depanmu setelahnya.

Kelak, jika suatu waktu Tuhan menyetujui pendapatku. Kau akan mengerti, yang kau pikirkan bahwa aku selalu kegirangan tiap hari diserang rindu yang merajalela itu salah. Suatu waktu kau akan merasakannya, ketidakmenyenangkannya setiap pagi namaku bergelantungan di kantung matamu.

Wednesday, December 3, 2014

Akan Segera Tiba

Akan segera tiba hari-hari dimana seseorang dengan keimanannya dapat melembutkan hatiku. Seseorang yang dengan keteguhannya meruntuhkan tembok keegoisanku. Seorang lelaki yang ketulusannya tak dapat ku ingkari. Dimana di hari seterusnya, kekurangan dari masing-masing kami yang membuat selalu rindu. Kekurangannya indah dimataku, begitu pula yang ada padaku.

Seseorang yang aku butuhkan bukan hanya aku inginkan. Lelaki yang menbuatku jatuh cinta berkali-kali. Akulah tempatnya berkeluh kesah, berbagi air mata, tawa dan pelukan. Tidak ada yang lain. Aku lah satu-satunya perempuan yang namanya ia sebut dalam ijab qobul sekali seumur hidupnya.

Dengannya aku merasa aman dimanapun. Sedingin apapun, aku selalu merasa hangat dalam dekapnya. Dibalik punggungnya nanti aku beribadah dan berdoa, dan diwaktu yang sama aku menjadi bagian dalam doa-doanya. Tangannyalah yang aku kecup setelah mengamini doa kami. Dan hanya keningku yang ia kecup.

Akulah nanti yang menjadi alasannya pulang, alasannya untuk tidak sering lembur, dan aku yang selalu ia ingat sekencang apapun godaannya diluar sana. Dari rahimku nanti, akan lahir anak-anak sholeh dan lucu kami. Aku yang menjaga ketika ia sibuk bekerja, sedang ia yang akan mengajarkan anak kami untuk sholat dan mengaji.

Tuesday, December 2, 2014

Tidak Menginginkan Kamu

Kamu hebat ya.

Terhitung 1 bulan sejak terakhir kita tidak berbicara. Lama sekali, ya? Tapi, masalahnya rasa rindu itu masih ada. Belakangan ini, kamu berlalu lalang lalu membangunkan kembali perasaanku yang sudah tertidur nyenyak. Kamu sengaja memancing perhatianku dengan kata-kata manismu, menatapku dengan begitu lekat tanpa kuketahui (meskipun akhirnya kuketahui) yang membuat jantungku berdetak kencang.

Aku rindu diam-diam membaca setiap postingan pada akun-mu yang penuh dengan kata-kata sendu, tapi kali ini aku tidak ingin lagi.

Aku rindu mendefinisikan diriku padamu sebagai seorang perempuan yang mencintai hujan dan selalu berpura-pura kuat, tapi kali ini aku tidak mau lagi.

Aku rindu percakapan hangat denganmu yang pernah menemaniku melewati sepi, tapi kali ini aku tidak punya lagi.

Aku rindu membaca sapaan-sapaan sederhanamu yang terselip di antara pesan-pesan orang lain, tapi kali ini aku tidak berhak lagi.

Aku rindu sisa-sisa perasaan di sini, tapi kali ini aku tidak sanggup lagi. 

Karena kini, (nampaknya) sudah ada orang lain yang membaca postinganmu, sudah ada orang lain yang mendefinisikan dirinya padamu, sudah ada orang lain yang kau ajak bercakap-cakap melawan sepi, sudah ada orang lain yang mendapat pesanmu, dan dia sudah memiliki perasaanmu… 

Mungkin saja kita telah berhenti sekarang. Mungkin saja aku tak bisa lagi di sini. Mungkin saja aku menghilang. Mungkin saja aku menyerah.

Mungkin perasaanku akan tertidur lagi. Mungkin ia akan berganti menjadi sesak kemudian luka. Lalu, hatiku akan menutup dengan sendirinya. Membuatku melupa lagi. Melupa bahwa kamu pernah ada.

Gantian ah,sekarang aku yang diam. Aku yang tidak ingin lagi melihatmu. Aku yang sibuk dengan segala macam tugas sekolah. Aku yang menganggapmu tak ada. Tapi ternyata itu semua membuatku sakit, membuatku perih, karenamu. Karenamu bersamanya. Sekali lagi, sungguh aku ingin menoleh padamu, tapi… apa boleh? 

Mungkin satu kesalahanku dari awal, harusnya aku sadar, bahwa tidak hanya aku yang berdebar setiap kali kamu menulis kata-kata manis.

 
Kepada siapapun yang membaca ini, tolong sampaikan surat ini pada dia ya, yang akunnya penuh dengan kalimat manis, yang suka warna hitam, dia juga suka warna putih, emm merah juga, karena saat itu ketika kita bertemu dia memakai sepatu merah, kupikir tuben sekali, lalu kutanya, "kenapa merah?" dia menjawab, "kau tau? aku suka warna merah. entah mengapa". Dia yang masih betah memandang keluar di jendela.

Nah itu dia, please…?