Suatu hari, lahirlah Api. Gadis kecil nan jelita. Dari rahim ibunya.
Tapi api tidak pernah tau siapa ibunya. Ia tinggal bersama nenek yang
dipangginya Uti. Api kecil yang malang. Ia tidak pernah tau siapa orang
tuanya. Kini ia pun tidak memiliki teman. Teman-temannya takut
mendekatinya.
Ada pernah suatu hari seorang anak laki-laki datang
kepadanya untuk mengajaknya bermain. Tapi, api membakar kulitnya. Anak
laki-laki itu menangis, hingga orang tuanya melarangnya bermain dengan
api.
Sejak itu sampai detik ini, api selalu bermain sendiri. Uti
tidak pernah bertanya apapun padanya. Tidak pernah begitu terlihat
peduli. Hingga pada suatu hari api memutuskan pergi dari rumahnya.
Ia
menyusuri rerumputan. Begitu riang melihat ladang yang lapang. Ia
bermain diatasnya hingga tahu-tahu ladang itu terbakar. Hangus.
Menyisakan api melihat kepulan asap hitam. Kambing berlarian dan para
penggembala melihat nanar ladang rumput yang hilang.
Api lari ke
hutan. Ia duduk di bawah pohon. Tapi siapa sangka, api telah menciptakan
bencana besar di hutan. Kebakaran besar. Api ingin memadamkannya tapi
justru membuatnya semakin besar. Ia bingung.
Api lari dari hutan.
Ia duduk diatas batu. Di hamparan tanah tandus. Angin mempermainkan
rambut Api yang tergerai. Api menatap bintang-bintang, ia menangis.
Untuk pertama kali dalam hidupnya Api menangis. Air matanya berlinang
meneteskan berjuta-juta pertanyaan tentang keberadaannya.
Siapa
ayah dan ibunya. Mengapa ia lahir sebagai api. Mengapa api tidak memilki
teman. Mengapa, mengapa, begitu banyak pertanyaan Api yang menjadi air
mata. Api menangis tiada henti. Dan alam menyaksikan kesedihannya. Api
telah mati oleh air matanya sendiri. Ia padam sebelum pagi tiba.
Sunday, March 23, 2014
Tuesday, March 11, 2014
MATAHARI
Kau tahu betapa sulitnya aku ketika kau menjadi matahari? Aku yang mau tidak mau harus bertemu denganmu setiap hari. Meski malam kelam, esoknya kamu pasti datang. Mustahil menghindarimu sekalipun aku pindah ke bulan.
Setidaknya aku belajar banyak hal. Aku belajar bagaimana menghadapimu saat pagi tiba. Saat kita mau tidak mau harus berjumpa. Meski harus menenggelamkan perasaan di dasar lautan. Kamu mungkin tidak tahu bagaimana tertekannya perasaan itu di dalam laut sana.
Lalu, aku juga belajar bagaimana menghadapimu saat kamu pergi di sore hari. Aku belajar bagaimana rindu tak membuatku menjadi mati. Menghabiskan malam tanpa tidur, dan mimpi indah hanya karena pertemuan siang tadi. Seperti itulah menympan perasaan.
Aku belajar bersiasat, bertemu denganmu seolah tidak terjadi apa-apa. Kamu mungkin tidak tahu, kadang aku sedih. Saat langit bersekongkol menggagalkan pembicaraan kita. Tapi aku menjadi belajar, mungkin memang sebaiknya tidak perlu terjadi pembicaraan. Apa aku minta saja kepada langit agar membuat hujan gelap sepanjang tahun?
Seperti itulah kiasan yang dapat aku jelaskan ketka aku bertemu denganmu. Aku tidak mungkin menghindarimu saat kamu menjadi matahari. Tapi aku belajar bagamana cara menghadapimu juga men-siasati perasaanku. Sampai kapan? Sampai kapan kamu akan menjadi matahari seperti itu?
Setidaknya aku belajar banyak hal. Aku belajar bagaimana menghadapimu saat pagi tiba. Saat kita mau tidak mau harus berjumpa. Meski harus menenggelamkan perasaan di dasar lautan. Kamu mungkin tidak tahu bagaimana tertekannya perasaan itu di dalam laut sana.
Lalu, aku juga belajar bagaimana menghadapimu saat kamu pergi di sore hari. Aku belajar bagaimana rindu tak membuatku menjadi mati. Menghabiskan malam tanpa tidur, dan mimpi indah hanya karena pertemuan siang tadi. Seperti itulah menympan perasaan.
Aku belajar bersiasat, bertemu denganmu seolah tidak terjadi apa-apa. Kamu mungkin tidak tahu, kadang aku sedih. Saat langit bersekongkol menggagalkan pembicaraan kita. Tapi aku menjadi belajar, mungkin memang sebaiknya tidak perlu terjadi pembicaraan. Apa aku minta saja kepada langit agar membuat hujan gelap sepanjang tahun?
Seperti itulah kiasan yang dapat aku jelaskan ketka aku bertemu denganmu. Aku tidak mungkin menghindarimu saat kamu menjadi matahari. Tapi aku belajar bagamana cara menghadapimu juga men-siasati perasaanku. Sampai kapan? Sampai kapan kamu akan menjadi matahari seperti itu?
Monday, March 10, 2014
DULU
Dulu, di antara kita hanyalah orang asing. Hanya saling tahu nama dari bilik laman layar komputer. Mencari tahu, menerka-nerka seperti apakah gerangan sosok di jauh sana. Dulu, di antara kita tidak ada saling sapa. Hanya diam-diam saja membaca baris kata. Tidak tahu cara memulai padahal ingin sekali menyapa. Mungkin sekedar menyatakan "halo, salam kenal" atau menyatakan kekaguman. Dulu di antara kita tidak pernah ada pertemuan. Terpaut oleh jarak dan rentang waktu. Jika pada suatu hari kita berpapasan di tengah jalan, aku tidak yakin jika kamu mengenalku. Itu dulu kan?
Seandainya setiap pertemuan antara dua orang manusia kita rekam sebagai sebuah cerita, lalu kita berikan ke setiap orang, mungkin di dunia ini tidak akan ada pertemuan yang serupa satu dengan yang lain. Sebab itu aku tahu meski aku hanya punya satu cara untuk memulai dan begitu khawatir ketika cara itu gagal, Tuhan memiliki cara yang tidak terhingga. Dulu di antara kita hanyalah orang asing. Tapi itu dulu kan?
Seandainya setiap pertemuan antara dua orang manusia kita rekam sebagai sebuah cerita, lalu kita berikan ke setiap orang, mungkin di dunia ini tidak akan ada pertemuan yang serupa satu dengan yang lain. Sebab itu aku tahu meski aku hanya punya satu cara untuk memulai dan begitu khawatir ketika cara itu gagal, Tuhan memiliki cara yang tidak terhingga. Dulu di antara kita hanyalah orang asing. Tapi itu dulu kan?
Tuesday, March 4, 2014
UNDANGAN HUJAN
Undangan yang akan kita
terima terbuat dari udara dingin dan langit yang kelabu
Angin yang berhembus
mengabarkan beritanya
Awan yang berarak-arak
menyapu langit yang tadinya biru
Undangan yang akan kita
terima terbuat dari bulir-bulir air
Dari setiap tetesnya
terdapat huruf-huruf yang tersusun rapi
Menuliskan kenangan
menjadi cerita utuh dalam fikiran
Siapa pun yang diundang
hujan bisa berubah menjadi sendu
Rindu bertumpuk-tumpuk
menjadi cair
Dan sayangnya hati hanya
sebesar gelas
Sementara rindu seperti
es di kutub utara, tidak kuat hati menampungnya
Maka mengalirlah ia
menjadi air mata
Siapa pun yang diundang
hujan bisa berubah menjadi bahagia
Kaca berembun bisa
dituliskan nama
Tersenyum-senyum sendiri
memikirkan sesuatu
Berbaring di bawah
selimut hangat dan menulis sesuatu
Hujan membuat suasana
lebih romantis dari biasanya
Namun, undangan hujan
yang aku terima kali ini, sepertinya akan menjadi kesedihan
Undangan yang terbuat
dari petir dan gemuruh
Dari angin dan awan gelap
Undangan tentang kabar
hilangnya harapan’
Tentang hilangnya
kesempatan
Aku telah menyia-nyiakan
hari yang cerah untuk memperjuangkanmu
Dan, kini hujan menghentikan langkahku
Menyamarkan air mataku
Di bawah hujan kamu tidak
akan tau ada aku
Sebab aku telah melebur
menjadi tetesnya
Mengalir di balik jendela kaca kamarmu
Lalu hilang oleh sinar
matahari
Subscribe to:
Posts (Atom)