Sunday, March 23, 2014

GADIS API (by Kurniawan Gunadi)

Suatu hari, lahirlah Api. Gadis kecil nan jelita. Dari rahim ibunya. Tapi api tidak pernah tau siapa ibunya. Ia tinggal bersama nenek yang dipangginya Uti. Api kecil yang malang. Ia tidak pernah tau siapa orang tuanya. Kini ia pun tidak memiliki teman. Teman-temannya takut mendekatinya.

Ada pernah suatu hari seorang anak laki-laki datang kepadanya untuk mengajaknya bermain. Tapi, api membakar kulitnya. Anak laki-laki itu menangis, hingga orang tuanya melarangnya bermain dengan api.

Sejak itu sampai detik ini, api selalu bermain sendiri. Uti tidak pernah bertanya apapun padanya. Tidak pernah begitu terlihat peduli. Hingga pada suatu hari api memutuskan pergi dari rumahnya.

Ia menyusuri rerumputan. Begitu riang melihat ladang yang lapang. Ia bermain diatasnya hingga tahu-tahu ladang itu terbakar. Hangus. Menyisakan api melihat kepulan asap hitam. Kambing berlarian dan para penggembala melihat nanar ladang rumput yang hilang.

Api lari ke hutan. Ia duduk di bawah pohon. Tapi siapa sangka, api telah menciptakan bencana besar di hutan. Kebakaran besar. Api ingin memadamkannya tapi justru membuatnya semakin besar. Ia bingung.

Api lari dari hutan. Ia duduk diatas batu. Di hamparan tanah tandus. Angin mempermainkan rambut Api yang tergerai. Api menatap bintang-bintang, ia menangis. Untuk pertama kali dalam hidupnya Api menangis. Air matanya berlinang meneteskan berjuta-juta pertanyaan tentang keberadaannya.

Siapa ayah dan ibunya. Mengapa ia lahir sebagai api. Mengapa api tidak memilki teman. Mengapa, mengapa, begitu banyak pertanyaan Api yang menjadi air mata. Api menangis tiada henti. Dan alam menyaksikan kesedihannya. Api telah mati oleh air matanya sendiri. Ia padam sebelum pagi tiba.

Tuesday, March 11, 2014

MATAHARI

Kau tahu betapa sulitnya aku ketika kau menjadi matahari? Aku yang mau tidak mau harus bertemu denganmu setiap hari. Meski malam kelam, esoknya kamu pasti datang. Mustahil menghindarimu sekalipun aku pindah ke bulan.

Setidaknya aku belajar banyak hal. Aku belajar bagaimana menghadapimu saat pagi tiba. Saat kita mau tidak mau harus berjumpa. Meski harus menenggelamkan perasaan di dasar lautan. Kamu mungkin tidak tahu bagaimana tertekannya perasaan itu di dalam laut sana.

Lalu, aku juga belajar bagaimana menghadapimu saat kamu pergi di sore hari. Aku belajar bagaimana rindu tak membuatku menjadi mati. Menghabiskan malam tanpa tidur, dan mimpi indah hanya karena pertemuan siang tadi. Seperti itulah menympan perasaan.

Aku belajar bersiasat, bertemu denganmu seolah tidak terjadi apa-apa. Kamu mungkin tidak tahu, kadang aku sedih. Saat langit bersekongkol menggagalkan pembicaraan kita. Tapi aku menjadi belajar, mungkin memang sebaiknya tidak perlu terjadi pembicaraan. Apa aku minta saja kepada langit agar membuat hujan gelap sepanjang tahun?

Seperti itulah kiasan yang dapat aku jelaskan ketka aku bertemu denganmu. Aku tidak mungkin menghindarimu saat kamu menjadi matahari. Tapi aku belajar bagamana cara menghadapimu juga men-siasati perasaanku. Sampai kapan? Sampai kapan kamu akan menjadi matahari seperti itu?

Monday, March 10, 2014

DULU

Dulu, di antara kita hanyalah orang asing.  Hanya saling tahu nama dari bilik laman layar komputer. Mencari tahu, menerka-nerka seperti apakah gerangan sosok di jauh sana. Dulu, di antara kita tidak ada saling sapa. Hanya diam-diam saja membaca baris kata. Tidak tahu cara memulai padahal ingin sekali menyapa. Mungkin sekedar menyatakan "halo, salam kenal" atau menyatakan kekaguman. Dulu di antara kita tidak pernah ada pertemuan. Terpaut oleh jarak dan rentang waktu. Jika pada suatu hari kita berpapasan di tengah jalan, aku tidak yakin jika kamu mengenalku. Itu dulu kan?

Seandainya setiap pertemuan antara dua orang manusia kita rekam sebagai sebuah cerita, lalu kita berikan ke setiap orang, mungkin di dunia ini tidak akan ada pertemuan yang serupa satu dengan yang lain.  Sebab itu aku tahu meski aku hanya punya satu cara untuk memulai dan begitu khawatir ketika cara itu gagal, Tuhan memiliki cara yang tidak terhingga. Dulu di antara kita hanyalah orang asing. Tapi itu dulu kan?

Tuesday, March 4, 2014

UNDANGAN HUJAN

Undangan yang akan kita terima terbuat dari udara dingin dan langit yang kelabu
Angin yang berhembus mengabarkan beritanya
Awan yang berarak-arak menyapu langit yang tadinya biru
Undangan yang akan kita terima terbuat dari bulir-bulir air
Dari setiap tetesnya terdapat huruf-huruf yang tersusun rapi
Menuliskan kenangan menjadi cerita utuh dalam fikiran
Siapa pun yang diundang hujan bisa berubah menjadi sendu
Rindu bertumpuk-tumpuk menjadi cair
Dan sayangnya hati hanya sebesar gelas
Sementara rindu seperti es di kutub utara, tidak kuat hati menampungnya
Maka mengalirlah ia menjadi air mata
Siapa pun yang diundang hujan bisa berubah menjadi bahagia
Kaca berembun bisa dituliskan nama
Tersenyum-senyum sendiri memikirkan sesuatu
Berbaring di bawah selimut hangat dan menulis sesuatu
Hujan membuat suasana lebih romantis dari biasanya
Namun, undangan hujan yang aku terima kali ini, sepertinya akan menjadi kesedihan
Undangan yang terbuat dari petir dan gemuruh
Dari angin dan awan gelap
Undangan tentang kabar hilangnya harapan’
Tentang hilangnya kesempatan
Aku telah menyia-nyiakan hari yang cerah untuk memperjuangkanmu
Dan,  kini hujan menghentikan langkahku
Menyamarkan air mataku
Di bawah hujan kamu tidak akan tau ada aku
Sebab aku telah melebur menjadi tetesnya
Mengalir di balik  jendela kaca kamarmu
Lalu hilang oleh sinar matahari