Semuanya terasa singkat bukan?
Ketika tawa dan letih yang telah kamu lalui di siang tadi, menjadi kawan yang membersamai langkahmu di bawah terik, kupikir aku ingin menjadi serupa dengan pohon yang melambaikan kanopinya, berharap kamu akan menoleh, lantas melangkah menepi menujuku yang sudah sejak lama ingin meneduhimu.
Lantas ketika angin datang membawa kabar yang menelisik awan yang menggulung di atas sana, kupikir aku ingin serupa dengan payung yang akan meneduhimu dari tetesan air hujan yang selanjutnya akan membersamai langkahmu.
Nyatanya, kamu tak akan mungkin menghentikan langkahmu ketika hujan turun, maka aku tak pernah berharap menjadi serupa kedai kopi di ujung jalan sana, yang akan dengan setia menunggumu untuk berteduh, menawarkan hangat dibalik secangkir cokelat panas yang asapnya mengepul dan mewangi.
Cukup menjadi serupa payung yang akan membersamai langkahmu, membelah hujan, menciptakan riak indah di sepanjang jalan yang kamu lalui, menjadi satu-satunya yang kamu genggam erat.
Pun ketika langkahmu mulai terasa berat, seusai menunaikan semua kewajibanmu di siang tadi, kupikir, tak ada salahnya jika aku berharap ingin serupa senja, senja yang singkat, senja yang hangat, senja yang mampu merekahkan senyuman di sudut bibirmu, hingga hilang letihmu.
Serupa dengan pohon di waktu terik, dengan payung di waktu hujan, dengan senja di penghujung hari.
Aku begitu singkat bukan?
Namun, terkadang yang singkat itu terasa jauh lebih indah.
Tidakkah kamu sadar? Aku hanya ingin membersamai langkahmu, bahkan ketika aku sama sekali tak mengetahui seberapa lama lagi sisa waktu yang kumiliki, rasanya akan terasa jauh lebih singkat ketika aku membaginya bersamamu.
Hey..
Siapapun “kamu” yang “akan” muncul di ujung jalan sana, kupastikan aku masih menunggu, dengan sisa waktuku yang singkat ini.
REBLOGGED FROM Nurul Ghaida Tsani Wiratami