Wednesday, February 19, 2014

SELAI KACANG

“Kok muka kamu pucat banget? Kamu belum sarapan?” 

“Belum, maklum anak kosan. Cowok lagi. Sarapan dan makan siang digabung jadi satu.”
   
Ana merogoh tasnya dan mengeluarkan kotak yang berisi 2 slice roti tawar selai kacang, “Ini buat kamu. Dimakan ya, supaya kamu nggak lesu kalau di kelas
“Terima kasih, Ana.”

                
“Tapi, maaf ya, kalau selainya kacang. Kamu lebih suka rasa coklat kan?”

                
“Wah gapapa kok, kalau begitu mulai sekarang aku suka selai kacang deh.” ucap Adi sambil menatap bola mata Ana.

                
Tatapan mereka sering bertemu, walaupun terasa menggetarkan hati, tapi Ana dan Adi mencoba melawan perasaan itu. Mereka sangat yakin bahwa segalanya hanya berdasarkan pertemanan. Mereka terus melawan dan memercayai anggapan bahwa tak pernah ada cinta di antara mereka. Memendam. Itulah hal yang selalu mereka lakukan selama ini. Pengetahuan mereka sebatas status berteman tanpa melanjutkan ke status yang lebih serius.
“Ada puisi baru?” tanya Ana

                
“Ada, tapi masih bingung ingin diberi judul apa.”

               
 “Puisinya tentang apa?”

                
 “Tentang kerinduan.” jawab Adi sambil menatap wajah Ana
Ana mendekatkan posisi duduknya, “Kerinduan? Tema yang manis dan hangat, berapa menit kamu bikinnya? Lima belas menit? Atau lima menit? Atau bahkan satu menit?”

                
 “Lima belas menit hanya cukup untuk membuat mie instan, Ana.”

               
 “Segalanya selalu mungkin, Adi. Kamu pernah bilang ke aku, hal yang tak mungkin hanya memakan kepala sendiri kan?”
              

"Aku pernah bilang seperti itu?” kening Adi mengkerut, otaknya kembali memutar memori masa lalu.
Aku tak pernah melupakan setiap perkataanmu. Bisik Ana dalam hati. Bisikan yang tak pernah Adi ketahui, suara hati yang sengaja disembunyikan rapat-rapat.
                 
“Coba kamu baca dulu puisiku, setelah itu kamu beri judul yang menarik.” Adi memberikan secarik kertas untuk Ana, berisi puisi yang ia buat. Tangan Adi memegang 1 slice roti tawar selai kacang pemberian Ana, ia memakan roti  pemberian Ana dengan perasaan yang masih ia sembunyikan. Cintakah?

                 
Wanita yang masih sibuk menyembunyikan perasaan harunya terus membaca puisi Adi dalam hati, 

“Tumben, puisimu yang kali ini maknanya sangat mendalam?” tanya Ana

                
“Jadi, sudah kaudapatkan judulnya?”

                
“Rindu tak pernah cukup. Beri saja judul itu.”

                 
“Kenapa judulnya sedih begitu?”

                 
“Itu tidak sedih. Rindu sama seperti cinta, tak berkesudahan.”

                
Adi mengangguk setuju. Ia terus memakan roti tawar selai kacang yang Ana berikan untuknya. Bola mata mereka kembali bertemu. Sangat lama.

                 
Dua orang yang hatinya mulai berdekatan ini tak tahu harus berbuat apa. Mereka cuma tahu; beberapa hal hanya perlu dijalani dan dirasakan, tanpa perlu diungkapkan.

***

                
Hal itu sudah menjadi kebiasaan. Ana sengaja datang lebih pagi agar bertemu Adi, begitu juga dengan Adi yang sengaja melajukan sepeda motornya lebih cepat agar segera menemui Ana. Segalanya terjadi begitu saja, tak ada dorongan apapun selain kenyamanan dan keinginan untuk terus bersama.

                 
Ana sudah menunggu selama lima menit, kelas masih begitu sepi tanpa kehadiran Adi. Kotak roti sudah siap di meja. Ketika terdengar suara pintu terbuka, Ana langsung menoleh. Adi menghela napas lega ketika menatap Ana yang menunggu dengan wajah masam.

                 
“Maaf, tadi aku mengantar temanku sebentar.”

                
Senyum Ana dipaksakan mengembang, “Untuk apa minta maaf, kita tak pernah berjanji kan?”

                 
“Aku tetap merasa tidak enak kalau membuat seseorang menunggu.”

                
 “Bukan seberapa lama aku menunggu, yang penting kamu datang dan aku bisa memberikan roti ini untukmu.”

“Lain kali aku tidak akan datang telat.” 

“Jangan berjanji, aku takut kautak bisa menepati janjimu sendiri.” ungkap Ana dengan nada

menyedihkan. Ia seakan tahu yang akan terjadi selanjutnya. 
“Memangnya, kamu tadi mengantar siapa?”

                 
“Aku mengantar Naura"
Adi berbohong. Ia sudah bangun sejak subuh, pagi ini ia ingin menyatakan perasaannya pada Ana. Adi ingin menjadikan Ana seseorang yang memiliki posisi lebih dari teman di dalam hatinya. Sejak subuh tadi, ia memikirkan cara terbaik untuk mengungkapkan perasaan. Matanya yang berat dan kantuk mata yang tebal adalah bukti bahwa ia hanya tidur sesaat.

                
Mendengar kebohongan Adi yang kebenarannya tak diketahui Ana, ia langsung terdiam. Ia cemburu.

                
“Nampaknya, Naura begitu penting buatmu, ya?”

                 
Tak sempat Adi menjelaskan segalanya, ponsel Ana berbunyi.

                
 “Halo.”

                
 “Halo, Ana Kamu sudah di sekolah, ya?”

                 
“Iya, ada apa, Rado?”

                
“Aku tadi ingin mengantarmu ke sekolah, tapi ternyata kamu sudah berangkat duluan. Bagaimana kalau seusai pulang sekolah, aku menjemputmu?”

                 
Mendengar ajakan yang memuakan, Ana langsung memutuskan pembicaraan.

                 
“Kok, ditutup?” seloroh Adi dengan tatapan menyelidik, “Siapa? Rado?”

                 
Anggukan kepala Ana melemah.

                 
“Kenapa tidak mau dijemput dan diantar olehnya, Ana?”

                 
“Aku datang lebih pagi agar bisa memberi roti selai kacang ini untukmu, aku tahu kamu pasti tak sarapan. Aku tak ingin melihatmu lesu saat pelajaran.”

                 
“Hanya untuk memberikan roti ini untukku?” tanya Adi dengan nada yang sedikit memuncak

                 
Sebenarnya lebih dari itu! Ungkap Ana dalam hati, tapi ia tak boleh mengatakan perasaan sesungguhnya, “Iya, hanya untuk mengantarkan roti ini, tak lebih.”

                 
Ana berbohong, ia mendustai hatinya sendiri.

                 
Gantian Adi yang terdiam sangat lama. Puisi yang sudah ia kantongi di sakunya tak jadi ia berikan untuk Ana. Ia menatap Ana dengan tatapan seakan tak memercayai perkataan Ana.

                 
Wajah Adi merah padam, kemarahan memuncak. Kenapa ia harus marah? Sungguh, Adi bahkan tak mampu memahami perasaannya sendiri.

                
Ia menyambar roti selai kacang pemberian Ana dan meninggalkan Ana sendirian.

                 
Ana membuat hujan di pelupuk matanya sendiri.

***

Sambil mmembawa kotak roti, ia menunggu Adi datang. Ana terus menunggu, bahkan sampai kelas ramai. Adi baru hadir ketika kelas hampir dimulai. Kejadian itu terus berulang setiap hari. Ana ingin mengajak Adi berbicara, tapi Adi selalu menghindar. Melihat perubahan Adi, Ana berusaha mencari kabar.

                
Dia harus menghela napas panjang. Adi telah menjadi kekasih Naura. Hal itu terjadi tanpa sepengetahuan Ana. Segalanya tertahan tanpa pernah diungkapkan. Hal-hal manis yang pernah terjadi seakan menguap bak asap rokok hilang tak berbekas.

                
Ana tak pernah ingin hal ini terjadi. Segalanya berakhir tanpa ucap kata pisah.

                 
Perlakuannya masih sama, ia masih sering menunggu Adi dari pagi hingga kelas dimulai. Ana tak pernah lelah menunggu, tapi Adi,  Adi tak pernah lagi datang.

               
Adi tahu Ana menunggu, tapi Adi tak ingin lagi tahu. Ia hanya tahu bahwa Ana melakukan segalanya, menunggu sosoknya datang, hanya untuk memberikan 1 slice roti tawar selai kacang. Tak lebih!

                
 Mereka berubah; tak lagi sama.

                 
Ada sesuatu yang masih membuat Ana terharu, Adi memang selalu datang beberapa menit sebelum kelas dimulai. Dalam ketergesa-gesaan saat memasuki kelas, Adi selalu memegang roti tawar selai kacang di jemarinya. Ana memerhatikan itu, tapi ia tak bisa lagi bertindak lebih selain memerhatikan diam-diam.

                 
Kali ini, Adi menyobek roti tawar selai kacang tanpa ditemani oleh pembicaraan manis bersama Ana. Seakan Adi sudah bisa hidup tanpa Ana.

                 
 Mereka masih diam, terus diam, sampai-sampai tak pernah tahu perasaan masing-masing.

Sunday, February 9, 2014

Finally...

Untuk kamu, 

Selama ini aku udah cukup sabar untuk tetap ada di sisi kamu, sampai detik ini. Dampingin kamu disaat suka maupun duka. Aku bersedia jadi sandaran waktu kamu lagi down. Aku selalu siaga buat ngehibur kamu waktu kamu sedih yg kadang aku gatau apa sebabnya. Bahkan, aku rela jadi tembok putih yg akhirnya penuh dengan coretan luapan amarahmu dengan nama lain aku adalah media pelampiasan. Tapi kamu nggak pernah sekalipun sekedar mempertanyakan keadaanku, apakah aku baik-baik saja? Kamu egois.

Kamu memang beberapa bulan lebih tua dari aku. Namun gak berarti aku gak tau apa-apa. Aku diam, karena aku masih sabar, masih ingin jadi orang yang kau butuhkan dan kau anggap. Masih ingin minimal jadi bagian dari hidup kamu. Tapi sikap kamu gak manis lagi kaya dulu sewaktu awal kita saling memuji satu sama lain, gak sehangat waktu kita berbincang dan saling menatap. Aku rindu, rindu saat-saat dulu.

Kamu yang aku kenal sekarang, adalah kamu yang berbeda. Kamu yang dingin, kamu yang acuh, kamu yang egois, kamu yang overprotektif, kamu yang tidak memakai topeng lagi. Setebal apakah topengmu, sehingga dengan bodohnya aku gak bisa membaca sifatmu yang sebenarnya dari awal? 

Bayangan kamu makin samar-samar, sulit buat aku raih. Aku nyerah, aku gak mau lebih sakit, gak mau kamu ngerasa terbebani karena aku.  Maaf kalau aku tak menjadi tembok yang kokoh, maaf kalau aku kurang berguna untukmu, maaf kalau aku terlalu merepotkanmu. Aku pergi, dan mungkin tak akan pernah kembali.

Tuesday, February 4, 2014

LO KEMANA?

Perasaan baru kemarin deh kita pertama kali ketemu. Perasaan baru kemarin deh lo tanya nama gue terus kita kenalan. Perasaan baru kemarin deh kita masih malu-malu kalo ngobrol. Perasaan baru kemarin deh lo ngajakin gue ke Beringharjo liat-liat kain batik buat tugas lo di sekolah. Perasaan baru kemarin deh lo diem-diem stalk twitter gue. Perasaan baru kemarin deh lo minta nomor handphone gue. Perasaan baru kemarin deh  kita muter-muter Jogja sampe kaki gue sakit. Perasaan baru kemarin deh lo ngajakin gue makan gudeg di angkringan. Perasaan baru kemarin deh gue ngajakin lo liat-liat Prambanan, tapi lo nya gak mau. Perasaan baru kemarin deh lo sms gue "tadi ke Prambanan ya? sama siapa aja? kok aku gak diajak?" padahal gue udah ngajak. Perasaan baru kemarin deh lo nantangin gue jalan lurus di beringin kembar. Perasaan baru kemarin deh lo maksa gue buat nyoba kopi joss malem-malem. Perasaan baru kemarin deh lo imamin gue sama temen-temen waktu sholat Ashar. Perasaan baru kemarin deh kita seneng-seneng bareng.

Kok sekarang lo nya berubah? Kok sekarang lo nya jutek banget ke gue? Kok sekarang lo gamau ngomong sama gue  Kok kita udah gapernah bareng lagi? Kok sekarang kalo gue sms gapernah lo bales? Kok sekarang kalo gue mention gapernah dibales? Kok sekarang lo tiba-tiba jadi moodbreaker gitu? Kok lo sombong? Gue gamau lo kaya gitu. Gamau jauh dari lo. Gamau kita ada masalah. Gamau kehilangan lo. Gamau.

Kok sekarang gue suka mikirin lo kalo malem-malem. Kok sekarang gue jadi sering ngirim dm ke lo, mention lo, stalk twitter, facebook, path lo. Lo nya kok gapernah muncul lagi? Lo kemana? Gue kangen. Maaf kalo gue pernah nyakitin lo. Sumpah gak bermaksud, tapi itu emang yang terbaik. Gue sadar kok sekarang, lo emang yang terbaik buat gue. Tapi kayaknya lo udah lupain gue.

Gue cuma minta, kalo lo baca ini, gue mau lo jangan pernah lupain momen-momen waktu kita sama-sama dulu ya? Gue mau lo simpen kenangan itu. Tenang aja, gue juga simpen kok, gue simpen banget malah. Karena momen terindah gue, adalah momen dimana kita sama-sama. Thanks for everything ({})