“Belum, maklum anak kosan. Cowok lagi. Sarapan dan makan siang digabung jadi satu.”
Ana merogoh tasnya dan mengeluarkan kotak yang berisi 2 slice roti tawar selai kacang, “Ini buat kamu. Dimakan ya,
supaya kamu nggak lesu kalau di kelas
“Terima
kasih, Ana.”
“Tapi, maaf ya, kalau selainya kacang.
Kamu lebih suka rasa coklat kan?”
“Wah gapapa kok, kalau begitu mulai
sekarang aku suka selai kacang deh.” ucap Adi sambil menatap bola mata Ana.
Tatapan
mereka sering bertemu, walaupun terasa menggetarkan hati, tapi Ana dan Adi mencoba melawan perasaan itu. Mereka sangat yakin bahwa segalanya hanya
berdasarkan pertemanan. Mereka terus melawan dan memercayai anggapan bahwa tak
pernah ada cinta di antara mereka. Memendam. Itulah hal yang selalu mereka lakukan selama ini. Pengetahuan mereka sebatas status berteman tanpa
melanjutkan ke status yang lebih serius.
“Ada
puisi baru?” tanya Ana
“Ada, tapi masih bingung ingin
diberi judul apa.”
“Puisinya
tentang apa?”
“Tentang
kerinduan.” jawab Adi sambil menatap wajah Ana
Ana
mendekatkan posisi duduknya, “Kerinduan? Tema yang manis dan hangat, berapa
menit kamu bikinnya? Lima belas menit? Atau lima menit? Atau bahkan satu menit?”
“Lima
belas menit hanya cukup untuk membuat mie instan, Ana.”
“Segalanya
selalu mungkin, Adi. Kamu pernah bilang ke aku, hal yang tak mungkin hanya
memakan kepala sendiri kan?”
"Aku
pernah bilang seperti itu?” kening Adi mengkerut, otaknya kembali memutar
memori masa lalu.
“Coba
kamu baca dulu puisiku, setelah itu kamu beri judul yang menarik.” Adi
memberikan secarik kertas untuk Ana, berisi puisi yang ia buat. Tangan Adi memegang 1 slice roti tawar selai kacang pemberian Ana, ia memakan roti pemberian Ana dengan
perasaan yang masih ia sembunyikan. Cintakah?
Wanita
yang masih sibuk menyembunyikan perasaan harunya terus membaca puisi Adi
dalam hati,
“Tumben, puisimu yang kali ini maknanya sangat mendalam?” tanya Ana
“Tumben, puisimu yang kali ini maknanya sangat mendalam?” tanya Ana
“Jadi,
sudah kaudapatkan judulnya?”
“Rindu
tak pernah cukup. Beri saja judul itu.”
“Kenapa
judulnya sedih begitu?”
“Itu
tidak sedih. Rindu sama seperti cinta, tak berkesudahan.”
Adi mengangguk setuju. Ia terus memakan roti tawar selai kacang yang Ana berikan
untuknya. Bola mata mereka kembali bertemu. Sangat lama.
Dua
orang yang hatinya mulai berdekatan ini tak tahu harus berbuat apa. Mereka cuma
tahu; beberapa hal hanya perlu dijalani dan dirasakan, tanpa perlu diungkapkan.
***
Hal
itu sudah menjadi kebiasaan. Ana sengaja datang lebih pagi agar bertemu Adi,
begitu juga dengan Adi yang sengaja melajukan sepeda motornya lebih cepat
agar segera menemui Ana. Segalanya terjadi begitu saja, tak ada dorongan
apapun selain kenyamanan dan keinginan untuk terus bersama.
Ana sudah menunggu selama lima menit, kelas masih begitu sepi tanpa kehadiran Adi. Kotak roti sudah siap di meja. Ketika terdengar suara pintu
terbuka, Ana langsung menoleh. Adi menghela napas lega ketika menatap Ana
yang menunggu dengan wajah masam.
“Maaf,
tadi aku mengantar temanku sebentar.”
Senyum Ana dipaksakan mengembang, “Untuk apa minta maaf, kita tak pernah berjanji
kan?”
“Aku
tetap merasa tidak enak kalau membuat seseorang menunggu.”
“Bukan
seberapa lama aku menunggu, yang penting kamu datang dan aku bisa memberikan roti ini untukmu.”
“Lain kali aku tidak akan datang telat.”
“Jangan berjanji, aku takut kautak bisa menepati janjimu sendiri.” ungkap Ana dengan nada
menyedihkan. Ia seakan tahu yang
akan terjadi selanjutnya.
“Memangnya, kamu tadi mengantar siapa?”
“Aku
mengantar Naura"
Adi berbohong. Ia sudah bangun sejak subuh, pagi ini ia ingin menyatakan
perasaannya pada Ana. Adi ingin menjadikan Ana seseorang yang memiliki
posisi lebih dari teman di dalam hatinya. Sejak subuh tadi, ia memikirkan cara
terbaik untuk mengungkapkan perasaan. Matanya yang berat dan kantuk mata yang
tebal adalah bukti bahwa ia hanya tidur sesaat.
Mendengar
kebohongan Adi yang kebenarannya tak diketahui Ana, ia langsung terdiam. Ia cemburu.
“Nampaknya, Naura begitu penting buatmu, ya?”
Tak
sempat Adi menjelaskan segalanya, ponsel Ana berbunyi.
“Halo.”
“Halo, Ana Kamu sudah di sekolah, ya?”
“Iya,
ada apa, Rado?”
“Aku
tadi ingin mengantarmu ke sekolah, tapi ternyata kamu sudah berangkat duluan. Bagaimana
kalau seusai pulang sekolah, aku menjemputmu?”
Mendengar
ajakan yang memuakan, Ana langsung memutuskan pembicaraan.
“Kok,
ditutup?” seloroh Adi dengan tatapan menyelidik, “Siapa? Rado?”
Anggukan
kepala Ana melemah.
“Kenapa
tidak mau dijemput dan diantar olehnya, Ana?”
“Aku
datang lebih pagi agar bisa memberi roti selai kacang ini untukmu, aku tahu kamu
pasti tak sarapan. Aku tak ingin melihatmu lesu saat pelajaran.”
“Hanya
untuk memberikan roti ini untukku?” tanya Adi dengan nada yang sedikit memuncak
Sebenarnya lebih dari itu! Ungkap Ana
dalam hati, tapi ia tak boleh mengatakan perasaan sesungguhnya, “Iya, hanya
untuk mengantarkan roti ini, tak lebih.”
Ana
berbohong, ia mendustai hatinya sendiri.
Gantian Adi yang terdiam sangat lama. Puisi yang sudah ia kantongi di sakunya tak
jadi ia berikan untuk Ana. Ia menatap Ana dengan tatapan seakan tak
memercayai perkataan Ana.
Wajah Adi merah padam, kemarahan memuncak. Kenapa ia harus marah? Sungguh, Adi
bahkan tak mampu memahami perasaannya sendiri.
Ia
menyambar roti selai kacang pemberian Ana dan meninggalkan Ana sendirian.
Ana
membuat hujan di pelupuk matanya sendiri.
***
Sambil
mmembawa kotak roti, ia menunggu Adi datang. Ana terus menunggu, bahkan
sampai kelas ramai. Adi baru hadir ketika kelas hampir dimulai. Kejadian itu
terus berulang setiap hari. Ana ingin mengajak Adi berbicara, tapi Adi
selalu menghindar. Melihat perubahan Adi, Ana berusaha mencari kabar.
Dia
harus menghela napas panjang. Adi telah menjadi kekasih Naura. Hal itu terjadi
tanpa sepengetahuan Ana. Segalanya tertahan tanpa pernah diungkapkan. Hal-hal
manis yang pernah terjadi seakan menguap bak asap rokok hilang tak berbekas.
Ana tak pernah ingin hal ini terjadi. Segalanya berakhir tanpa ucap kata pisah.
Perlakuannya
masih sama, ia masih sering menunggu Adi dari pagi hingga kelas
dimulai. Ana tak pernah lelah menunggu, tapi Adi, Adi tak pernah lagi datang.
Adi tahu Ana menunggu, tapi Adi tak ingin lagi tahu. Ia hanya tahu bahwa Ana melakukan segalanya, menunggu sosoknya datang, hanya untuk
memberikan 1 slice roti tawar selai kacang. Tak lebih!
Mereka
berubah; tak lagi sama.
Ada
sesuatu yang masih membuat Ana terharu, Adi memang selalu datang beberapa
menit sebelum kelas dimulai. Dalam ketergesa-gesaan saat memasuki kelas, Adi selalu memegang roti tawar selai kacang di jemarinya. Ana memerhatikan
itu, tapi ia tak bisa lagi bertindak lebih selain memerhatikan diam-diam.
Kali
ini, Adi menyobek roti tawar selai kacang tanpa ditemani oleh pembicaraan manis
bersama Ana. Seakan Adi sudah bisa hidup tanpa Ana.
Mereka
masih diam, terus diam, sampai-sampai tak pernah tahu perasaan masing-masing.