Monday, December 23, 2013

Lima Minggu Setelah Kepergian Kamu

Lima minggu setelah kepergian kamu. Aku tak pernah sesedih ini. Kukira waktu yang kubutuhkan untuk melupakanmu juga tak sepanjang ini. Aku salah besar. Hari-hari yang kulalui bersama usahaku untuk melupakanmu, ternyata tak menemukan titik temu. Kamu masih jadi segalanya. Masih berdiam dalam kepala, masih jadi yang paling penting dalam hati. Maaf jika segala kejujuranku terdengar bodoh. Sebentar lagi kamu pasti akan berkata bahwa sikapku berlebihan. 

Seandainya jika sekarang aku berada di sampingmu, akan kuceritakan sebuah kisah tentang melupakan dan mengikhlaskan. Sungguh dua hal itu bukanlah hal yang mudah. Lima minggu harusnya waktu yang sangat cukup untuk menghilangkan perasaan, namun ternyata aku tak termasuk dalam pernyataan itu. Hari berganti minggu, dan sosokmu masih jadi penunggu. Menyergap perhatianku, menguji imanku, dan merontokkan kepercayaanku. Tubuhku dingin dan menggigil saat menghadapi perpisahan. Aku tak punya banyak pelukan hangat, sehangat rangkulanmu yang melingkar manis di bahuku. Belum kutemukan bisikan lembut, selembut kamu berbisik tentang cinta, mimpi, dan harapan-harapan yang dulu ingin kita wujudkan berdua. 

Sekali lagi aku katakan, melupakan tak akan pernah mudah. Merelakan yang pernah ada menjadi tidak ada adalah kerumitan yang belum tentu kau tau rasanya. Aku menulis ini saat aku terlalu lelah dihajar kenangan. Mengapa di otakku kau tak pernah hilang barang sedetik saja? Perkenalan kita terlalu singkat untuk disebut cinta. Dan terlalu dalam jika disebut ketertarikan sesaat. Aku tak tau harus diberi nama apa kedekatan kita dulu? Aku tak mengerti mengapa aku yang tak mudah tergoda ini malah begitu saja terjebak dalam perhatian dan tindakanmu yang berbeda? Kamu sangat luar biasa di mataku, dulu dan sekarang tetap sama. Dan aku masih menangisi juga menyesali  yang sempat terjadi. Bertanya-tanya dalam hati mengapa semua harus berakhir sesakit ini? Apa tujuanmu menyakitiku? Jika dulu kita pernah menjadi belahan jiwa yang enggan saling melepaskan. 

Aku tak tau sedang berbuat apa kamu disana? Aku tak lagi tau kabarmu. Segala ketidaktahuanku mengantarkan perasaanku pada perasaan asing. Rindu yang semakin hari semakin berontak. Rindu yang meminta pertemuan nyata. Rindu yang memaksa dua orang yang sekarang berjauhan untuk kembali berdekatan. Kalau aku berada di sampingmu sekarang, ingin rasanya aku mengulang segalanya. Memperbudak waktu, kuhentikan detak jarum jam semauku, agar yang hadir dalam hari-hariku hanyalah kamu, hanyalah kita, bahagia tanpa air mata. Seandainya hal itu bisa kulakukan, mungkin sekarang aku tak akan merindukanmu sesering dan sedalam sekarang.

Terakhir kita bertemu, ketika kita memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Ketika pelukmu tak lagi kurasakan. Dan ketika akhirnya kita memilih berjauhan. Semua jadi begitu berbeda, perbedaan yang berulang kali berusaha kupahami, namun tak kunjung kumengerti. Bisakah kau membantuku untuk memudahkan segalanya? Agar aku bisa menerima, bisa mengikhlaskan, bisa merelakan dengan sangat gampang. Benarkan ini semua hanya bualanmu? Betulkah kebersamaan kita hanya kau anggap sebagai permainan? Mengapa aku terlalu bodoh untuk membaca hal itu dari awal? Apa karena kau terlalu berilau hingga membuat mataku terlanjur buta dan telingaku seketika tuli? Jadi yang kulihat dan kudengar hanya bisikan harapan yang sebenarnya sungguh bukanlah kenyataan?

Berhentilah menyiksa aku dengan segala macam rindu dan kenangan. Atau mungkin aku yang menyiksa diriku sendiri karena tak mampu melupakanmu? Ah sudahlah, aku cuma ingin memberitahu, kita sudah lima minggu berpisah dan berjalan sendiri-sendiri. Jadi apa kabar kamu sekarang? Apakah kamu masih semanis dan semenyenangkan dulu? Ataukah kamu yang sekarang adalah kamu yang tanpa topeng, kamu yang ternyata jauh berbeda dari yang kukira? Aku benci harus mengakui ini. Aku sering merindukanmu dan memendam perasaanku. Tersiksa dengan angan sendiri, mengiris hati dengan kemauan sendiri. Aku ingin mengaku dengan sangat terpaksa bahwa aku masih mencintaimu dan berharap kamu kembali. Walaupun hanya untuk menenangkanku, dan berkata bahwa segalanya akan baik-baik saja.

Kamu ingin kembali?
Iya.
Masa?

Kamu ingin kembali?
Tidak.
Okay.

Hey Mr. Cuek

Hey Mr. Cuek ! Ini aku, aku yang selalu menunggu perhatian, rasa sayang tulus, dan selalu ingin tau setiap detik tentang kamu. Walaupun itu tak pernah kau anggap. Saat itu dimana awal kita berkenalan, awal kita mulai berkomunikasi, dan awal dari semua yang terjadi sebelum sampai pada saat ini. Aku merindukan saat-saat itu, bukan saat sekarang, dimana kamu mulai menjauh tak ingin mendengar kabarku lagi. Dan terkesan tak ingin dekat denganku lagi. 

Entah, itu hanya perasaanku saja atau memang pada nyatanya begitu. Kenapa? Apa salahku? Kau tau aku mempunyai rasa yang menurutku berbeda? Tapi aku hanya seorang perempuan yang menurut banyak orang tak berhak untuk mengungkapkan lebih dulu. Yang hanya bisa mengagumi dan menunggu. Aku tak ingin kau menganggapku sebagai perempuan yang agresif. Itu alasanku. Aku tau kalau kau sebenarnya tau aku menginginkanmu. Tapi kau pura-pura bodoh. Dan kau menganggapku bodoh untuk setiap status dan caraku untuk mencuri perhatian darimu. 

Aku sudah beri dan lakukan apa yang seharusnya. Namun kau tak pernah membalas itu. Aku cuma manusia biasa yang juga ingin diperlakukan yang sama. Aku tak akan pernah membencimu, namun sejujurnya aku hanya menyesali semua ini. Kenapa? Kenapa aku bisa jatuh cinta begitu cepat dengan orang sepertimu? Dan aku berharap kau bisa membaca ini. Membaca tulisanku, membaca curahan hatiku. Agar aku tak perlu berbicara tatap mata denganmu untuk kau tau yang sebenarnya. Hey Mr. Cuek! Aku sayang.